Bukit Bintang: Pertempuran Dewa Matahari dan Raksasa Lampu


Kalau kalian pergi ke Gunung Kidul lewat Jogja, sudah barang tentu akan melewati tempat yang sangat fenomenal ini. Kami juga selalu lewat sini, baik berangkat maupun pulang. Cuma belum pernah sekalipun mampir. Nggak tau sih, nggak terlalu kepengen gitu. Mungkin alam bawah sadar kami diam-diam mengatakan kalau pacaran di sini itu terlalu alay. Tapi pada suatu malam, karena lumayan kecapekan, kami memutuskan untuk mampir.

Selain itu, sebagai kelompok pendekar pembela kebenaran, kami mengemban tugas untuk mensweeping anak-anak di bawah umur yang pacaran di gelap-gelapan. Tapi begitu sampai sana ternyata nggak ada kok yang pacaran gelap-gelapan. Karena di situ semuanya sudah terang benderang. Sepanjang bukit bintang itu warung-warung berjejer-jejer. Mulai dari yang murahan sampai yang nggaya gitu. Semuanya terang benderang. Kami milih yang murahan dong, jelas. Toh nggak mengurangi level keromantisan bukit bintang kok. Yang repot itu nyari parkirnya karena lokasi warung-warungnya itu benar-benar simalakamis (istilah untuk menggambarkan lokasi yang seperti buah simalakama). Persis di bibir tebing sekaligus di pinggir jalan. Jadi maju ketabrak bis, mundur kecemplung jurang gitu deh.

Akhirnya setelah dapet parkir yang sebenarnya masih bikin was-was “Jangan-jangan kesenggol bis” itu, kami pesen kopi dan jagung bakar. Dan ternyata pesen jagung bakar aja antrinya lamaaaa sekali. Sampai keripik rumput laut yang kubeli di pantai yang tujuan semulanya adalah untuk dibawa pulang termakan habis selama menanti. 


Sementara menunggu, kami memandangi pemandangan bukit bintang yang termasyur itu. Sebenarnya nama bukit bintang agak kurang cocok menurutku. Soalnya kenyataannya kami melihat lampu-lampu kota, bukan bintang-bintang. Tapi karena dari kejauhan ya lampunya kelihatan jadi kecil-kecil kaya bintang. Jadi ya boleh lah. Anggap saja langitnya kebalik. 


Bagian yang gelap-gelap itu bukan lagi mati lampu, tapi emang sawah-sawah yang nggak ada lampunya pemirsa.

Bintang-bintangnya sendiri malah sama sekali nggak kelihatan. Kalah sama polusi cahaya. Nggak tahu kalau di masa lalu, jaman sebelum ada listrik, mungkin pacaran di situ bakal jadi moment yang bakal bikin baper seumur hidup kali yah. Jadi pengen madamin lampu sekota Jogja trus main ke sini kapan-kapan.

Tapi pas itu kami masih kebagian pertunjukan pertempuran antara dewa matahari melawan raksasa lampu kota dong.
 
Yah, imajinasiku kadang memang suka lebay. Maafkan saja.
Yang bikin aku tercengang, semua warung di situ baik yang murahan maupun yang nggaya, buang sampah ke jurang di belakangnya. Mak wher, gitu aja tanpa merasa bersalah. Aku kok jadi ngebayangin beberapa tahun yang akan datang, orang akan mengingat bukit bintang sebagai bukit sampah dengan aroma yang khas.

Catatan di Bukit Bintang:

1.       Kalau mau lihat bukit bintang dalam arti yang sesungguhnya, coba padamin lampu sekota Jogja baru naik ke sini.
2.       Hati-hati saat parkir dan nyebrang.
3.       Jangan buang sampah sembarangan.


Isthar Pelle

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar